Pada hampir 14 abad lalu, ayat di atas menjadi satu di antara
firman-firman Allah yang turun kepada Rasulullah saw dengan muatan
sains. Ayat tersebut menjelaskan tentang asal-muasal langit dan bumi,
yang mulanya satu dan kemudian dipisahkan.
Menemukan jawaban tentang proses terciptanya alam semesta menjadi
dahaga tersendiri bagi para ilmuan. Karena itu, mereka sejak ribuan
tahun lalu berusaha meneliti antariksa. Ditambah, astronomi memang telah
menjadi salah satu kebutuhan manusia sejak lama, terutama dalam hal
navigasi serta penentuan dan pembagian waktu. Terlebih bagi Muslim,
astronomi berfungsi lebih jauh untuk menentukan arah Ka’bah dan juga
lima waktu shalat.
Teori
Big Bang atau Letupan Besar yang dikemukakan pada abad
20 menjadi bukti sekaligus penegas kebenaran ayat Alquran di atas.
Ayat tersebut menjelaskan proses awal penciptaan alam semesta sejak 14
abad lalu, ketika teknologi belum menunjang penelitian astronomi dan
bahwa sang penerima wahyu, Rasulullah saw, bahkan tak mengenal
baca-tulis.
Teori tersebut menjelaskan, semesta bermula dari sebuah benda
seukuran bola tenis pada masa 0 detik atau sebelum semuanya ada. Materi
tersebut sangat padat dengan kepadatan tak terkira dan suhu yang luar
biasa. Ia meledak, dan pada detik pertama menghasilkan partikel dan
energi eksotis. Lalu, tiga menit pertama, tercipta hydrogen (unsur
pembentuk air) dan helium.
Proses tersebut berlangsung sampai dengan enam tahap hingga tercipta
alam semesta seperti sekarang. Teori abad 20 tersebut sekaligus
menjelaskan apa yang telah dipaparkan Alquran dalam surah Yunus ayat 3,
“Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala
urusan...”
Sebagai benda langit yang tidak muncul secara tiba-tiba, bintang
seperti matahari tidak bertahan selamanya. Setelah lahir dan berevolusi,
ia akan mati. Situs hubblesite.org (versi online dari “Hubble Space
Telescope: New Views of The Universe”) menjelaskan, setelah bintang
kehabisan semua bahan nuklirnya, ia akan mati. Fenomena Cat’s Eye Nebula
yang berhasil didokumentasikan menggunakan kamera teleskop Hubble
menunjukkan detik-detik kematian sebuah bintang yang dikenal sebagai
Planet Nebula.
Planet Nebula bukanlah planet seperti namanya. Ia adalah sebuah
bintang sebagaimana matahari yang berada sekitar 3.000 tahun cahaya dari
bumi, dan diperkirakan telah berumur 1.000 tahun lebih (dinamai
“planet” sekitar seabad lalu karena terlihat seperti planet melalui
teleskop kecil kala itu). Ledakan bintang yang berada di bagian utara
konstelasi Draco ini menghasilkan ledakan menyerupai mawar berwarna
merah.
Fenomena tersebut sekali lagi menjelaskan satu firman Allah yang lain.
“Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak...” (QS. Ar-Rahman: 37). Karena itu, Cat’s Eye Nebula disebut pula Oily Red Rose Nebula yang berarti “nebula mawar merah yang berminyak”.
***
Dunia mengenal astronom-astronom hebat periode kuno seperti Thales
(Yunani, 624-547 SM), Anaximander (Yunani, 611-547 SM), Pythagoras
(569-475 SM), Aristotle (Yunani, 384-322 SM), Aristarchus (Yunani,
310-230 SM), dan Hipparchus (Yunani, 190-120 SM).
Meneruskan prestasi mereka, pada era berikutnya muncul nama-nama
besar lainnya seperti Claudius Ptolemy (Yunani, 85-165 M), Nicolaus
Copernicus (Polandia, 1473-1543 M), Tyco Brahe (Denmark, 1546-1601 M),
Galileo Galilei (Italia, 1564-1642 M), johannes Kepler (Jerman,
1571-1630 M), Giovanni Cassini (Italia, 1625-1712 M), atau Isaac Newton
(Inggris, 1643-1727).
Selain mereka, ilmuan dan astronom Muslim tak ketinggalan ikut
mencatatkan nama mereka dalam sejarah dan perkembangan astronomi. Peran
dan sumbangan pemikiran mereka ikut mewarnai perkembangan ilmu
astronomi.
Sebut saja Ahmad ibn Muhammad ibn Katsir al-Faraghani (Persia,
mencapai puncak prestasinya pada 683 M), Abu Abdallah Muhammad Ibn Jabir
Ibn Sinan al-Battani (Iran, sekitar 850-923/9 M), Abd al-Rahman
al-Sufi (Persia, 903-986 M), Abul Wafaa Al-Bozgani (Iran, 940-998 M),
Abu Ishak Al-Nakkash Al-Zirikli, Abul Yosr Bahaa' ad-Din Al-Kharki
(950-1029), al-Badie' al-Astralbi (1139 M), Ibnu al-Shater (1306-1375
M), Olgh Bek, Al-Syams Rudani El-Din Al Fasi, al-Khawarzimi (Baghdad,
780-850), al Zarquli (wafat 1087), Omar al Khayyami (1048-1126), dan
Shihab al Ahmed bin Majid al Najdi (c.1500).
Dalam
Historical Encyclopedia of Natural and Matematical Sciences Volume 1
karya Ari Ben-Menahem (2009), disebutkan pula sejumlah nama lain.
Seperti, Abu Mahsar (805-929 M), Yaqub ibn Ishaq al-Kindi (815-873 M),
Al-Sabi’ Tsabit ibn Qurra al-Harrani (Irak, 836-901 M), Ibn Yunus
(Mesir, 940-1009), Ibn al-Haitam (Basra dan Mesir, 965-1039), Abu Rayhan
al-Biruni (Persia, 973-1048), Ibn al-Banna al-Marakushi (Maroko,
1190-1265), Qutb al-Din al-Shirazi (Persia, 1236-1311), dan Jamshid
al-Kashi (Iran, 1360-1436).
Selain dikenal sebagai astronom, mereka adalah matematikawan,
filosofer, penulis, kaligrafer, dokter, atau juga musisi. Beberapa
diantara karya mereka bahkan pernah menjadi rujukan utama astronomi
dunia.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID,